Senin, 11 Februari 2013

Tiga Kondisi Kebahagiaan Seorang Hamba


Tiada daya dan upaya kecuali milik Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung. Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang yang jika diberi nikmat, bersyukur; jika diberi cobaan, bersabar; dan jika berdosa, meminta ampun. Tiga hal inilah sebagai pertanda kebahagiaan seorang hamba dan tanda kemenangannya di dunia dan akhirat. Tidak akan ada seorang hambapun yang terhindar dari tiga hal tersebut. Pada hakekatnya, kondisi seorang hamba selalu berganti-ganti antara ketiga tingkat itu.

1. Mensyukuri nikmat.
Nikmat-nikmat Allah selalu silih berganti dianugerahkan kepada hamba-Nya. Kemudian sebagai pengikat nikmat tersebut adalah dengan mengungkapkan rasa kesyukuran yang didirikan atas tiga asas. Yaitu, dengan mengakui nikmat yang telah diberikan dalam batin, menceritakannya dalam zahir, dan menggunakannya sesuai dengan kehendak Yang memberi nikmat. Jika seorang hamba telah menunaikan ketiga hal tersebut, berarti ia telah bersyukur, meskipun rasa syukurnya masih dalam makna yang terbatas.

2. Sabar dalam ujian dan cobaan
       Apabila seorang hamba mendapat ujian dari Allah SWT, maka yang dituntut adalah agar ia bersabar dan berusaha menghibur diri. Sabar adalah menahan diri dari sifat membenci atas takdir-Nya, dan menahan lisan dari ungkapan keluh kesah. Juga menahan anggota badan dari perbuatan kaasiat seperti menampar pipi, menyobek pakaian, mencabut rambut, dan perbuatan tercela lainnya. Jika seorang hamba telah benar-benar melaksanakan tiga hal tersebut sebagaimana anugrah dari sisi-Nya. Derita yang menimpanya akan diganti dengan pemberian berharga. Hal yang tidak disenanginya menjadi ia senangi. Karena, sesungguhnya Allah menguji bukan untuk mencelakakannya, tetapi menguji kesabarannya dan menakar kualitas penghambaannya (ubudiah).
       Allah mempunyai hak kepada hamba-Nya yaitu hak ubudiah, baik itu saat kesempitan maupun di saat lapang. Dia mempunyai  hak ubudiah di saat seorang hamba dalam kesusahan, sebagaimana Dia mempunyai hak ubudiah dari hamba-Nya disaat ia senang. Sementara kebanyakan manusia hanya mampu menampakkan rasa penghambaannya disaat ia senang saja. Padahal, rasa penghambaan sangat dituntut tatkala seorang hamba dalam keadaan yang tidak ia senangi (almakarih). Dengan peringkat tersebut seorang hamba akan diukur kedudukannya di sisi Allah.
       Barang siapa yang menempatkan diri sebagai hamba Allah pada dua kondisi tersebut, dengan benar-benar menunaikan haknya secara sempurna, maka mereka itu akan menjadi sosok hamba seperti yang disinggung dalam firman-Nya, “Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya (Az-Zumar:36). Jika seseorang telah mendapat jaminan penuh dari Allah SWT, maka merekalah hamba Allah yang sejati, tidak ada satupun dari musuh-Nya mempunyai kuasa atas mereka. Allah SWT berfirman,”Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka (Al Hijr: 42).

Pintu-pintu setan
       Tatkala iblis mengetahui bahwa Allah tidak akan menyerahkan hambaNya kepada iblis, dan iblis tidak akan mempunyai kuasa atasnya, maka ia bersumpah, “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuannya. Kecuali hamba-hambaMu yang mukhlish diantara mereka (yaitu orang-orang yang telah diberi taufik untuk menaati segala petunjuk dan perintah Allah).” (Shaad 82-83). Allah juga berfirman “ Sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian orang beriman. Dan tidak adalah kekhususan iblis terhadap mereka, melainkan hanyalah agar Kami membedakan siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat dan siapa yang ragu-ragu tentang itu” (Saba 20-21).
       Dengan demikian, Allah tidak akan memberikan kesempatan kepada musuhNya untuk menguasai hamba-hamba-Nya yang beriman. Karena mereka selalu dalam lindungan-Nya (hirzihi), naungan-Nya (kalla atihi) penjagaan-Nya dan selalu dibawah curahan rahmatNya(kanafihi). Keberhasilan setan untuk masuk kedalam jiwa orang tersebut telah dikuasai oleh syahwat dan amarah hingga sangat mudah bagi setan untuk menguasai dan mengendalikannya semaunya.

3. Tobat dari setiap dosa
       Jika Allah telah menghendaki hamba-Nya dengan suatu kebaikan, maka Dia bukakan pintu tobat baginya. Kemudian tumbuhlah penyesalan, pedih hati, perasaan hina di sisi-Nya, dan perasaan selalu membutuhkan-Nya. Ia akan selalu memohon pertolongan-Nya, mengikat janji benar-benar akan kembali kejalan-Nya, senantiasa memohon dan berdoa kepada-Nya dengan sungguh-sungguh. Juga mendekatkan diri kepada-Nya sebisa mungkin dengan amal-amal kebaikan yang dapat menghapus dosa-dosanya. Pintu itu akan menjadi sebab baginya untuk meraih curahan rahmat-Nya, sampai pada saatnya musuh Allah akan berkata,” Andai saja tinggalkan dia dan tidak menjerumuskannya. Inilah barangkali makna ungkapan sebagian ulama salaf, “Sesungguhnya seorang hamba terkadang melakukan dosa yang menyebabkan ia dimasukkan sorga, dan melakukan amal kebaikan yang menyebabkan ia dimasukkan neraka.”
       Mereka saling bertanya, “Mengapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Ia melakukan dosa tetapi selalu terbayang dipelupuk matanya rasa takut kepada Allah, malu, selalu bergetar hatinya, berderai dua matanya dengan tangis penyesalan dan rasa malu kepada Allah Ta’ala, tunduk kepadanya dihadapan Sang Khalik dengan hati yang perih. Maka dosa yang semacam ini lebih bermanfaat baginya daripada amal ketaatan yang menggunung yang menyebabkan perkara ini sebagai sebab baginya untuk meraih kebahagiaan seorang hamba. Sehingga dosa ini menjadi sebab baginya untuk masuk surga.
       Sedangkan mereka yang mengerjakan amal kebaikan tetapi masih senantiasa menyebut-nyebut amal tersebut di hadapan Tuhannya dan merasa sombong, membanggakan dirinya dengan mengatakan ,”Aku telah melakukannya, aku telah melakukannya” sampai kesombongan dan kebanggaanya mengantarkannya ke jurang kehancuran. Kalau Allah menghendaki kebaikan pada hamba yang miskin ini, maka Dia akan menguji dengan suatu  hal yang membuatnya merasa menyesal, hina, dan rendah diri di hadapan-Nya. Dan jika Allah menghendakiNya selain itu, maka Dia membiarkannya tetap dalam kesombongan dan kebanggaannya. Inilah yang membuat seorang hamba ditelantarkan Allah hingga akhirnya ia berada pada jurang kehancuran.

a. Sebab-sebab taufik dan kegagalan dari Allah.

Para ahli makrifah telah sepakat bahwa taufik itu adalah suatu kondisi yang disitu Allah tidak akan membiarkan seorang hamba bersandar pada diri sendiri. Sedangkan kegagalan (al-khudzalaan) adalah suatu kondisi yang Allah akan membiarkan seorang hamba bersandar kepada kemampuan dirinya sendiri. Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah suatu kebaikan, Allah akan membukakan pintu kehinaan dan hati yang pedih (baba adz-dzull walinkisar), serta jiwa yang selalu ingin kembali kepada Allah dan perasaan selalu membutuhkan-Nya. Juga diiringi dengan selalu mengecamnya. Kemudian dihiasi suatu lembaran hidup baru dengan sebuah pengakuan bahwa betapa luas dan sangat banyaknya anugerah Allah dan kebaikan-Nya, rahmat dan kemuliaan-Nya, kekayaan dan pujian-Nya.
          Seorang yang arif (yang dekat dengan Zat Allah) akan selalu berjalan menuju mihrab Allah diantara dua sayap ini, antara taufik dan kegagalan. Tidak mungkin baginya memilih yang lain kecuali harus berjalan antara dua jalan ini. Tatkala seorang hamba menjalani hidup ini dengan ketinggalan salah satu sayapnya, maka ia bagaikan seekor burung yang tidak dapat terbang dengan seimbang. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berkata , “ Seorang yang arif akan berjalan menuju Allah antara dua kondisi, menyaksikan anugerah yang dicurahkan Allah kepadanya dan selalu melihat cacat pada dirinya dan amalnya.

b. Pintu Terdekat dengan Allah
       Makna-makna ini merupakan penjabaran makna yang terkandung dari sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadits sahih dari Buraidah r.a., “Istigfar pamungkas (sayyidul istigfar) adalah jika seorang hamba mengumandangkan lafal, yang artinya :  Ya Allah Engkaulah Rabb-ku yang tiada tara Tuhan selain-Mu Engkau telah menciptakan dan akulah hamba-Mu. Hamba terikat dengan janji pada-Mu semampu hamba. Hamba berlindung dari segala amal kejelekan yang hamba perbuat. Hamba pasrahkan segala nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan hamba pasrahkan segala dosa hamba. Ampunilah dosa hamba, karena sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau ya Allah. Dari sini dapat kita lihat bahwa dalam sabda Nabi saw., “Hamba pasrahkan segala nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan hamba pasrahkan segala dosa hamba”. Terkumpul dualisme pengakuan, Yaitu antara pengakuan terhadap semua anugerah yang Allah curahkan kepada hamba-Nya dan pengakuan atas cacat dan kekurangan dirinya beserta amalnya.
       Pengakuan atas anugerah yang Allah berikan akan mengantarkan seorang hamba pada nuansa cinta, puji-pujian, rasa syukur kepada Yang Menganugerahkan nikmat dan kebaikan. Sedangkan, pengakuan atas cacat dan kekurangan diri sendiri dan kekurangan dalam beramal, akan mengantarkan seorang hamba pada perasaan hina disisi-Nya, perih hati, merasa selalu butuh, dan bertobat pada setiap waktu. Tidak ada jalan yang paling dapat mendekatkan diri kepada Allah kecuali dengan mengaplikasikan nilai ubudiah (menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah) yang sesungguhnya. Tidak ada penghalang yang paling tebal antara seorang hamba dengan-Nya kecuali jika seorang hamba menggelar pengakuan palsu bahwa ia telah melakukan ketaatan kepada Allah dengan perintah-perintah-Nya, sementara amal-amalnya bertolak belakang.

c. Makna ubudiah.
            Makna ubudiah berkisar antara dua landasan pemikiran. Yaitu, cinta yang sepenuhnya (dzullun taam). Dengannya akan menimbulkan rasa cinta dan timbulnya  perasaan bahwa dirinya  serta amalnya selalu cacat dan kurang (muthaala’atu’aibin nafsi wal ‘amalil), yang menimbulkan rasa selalu hina dimata Nya. Jika seorang hamba telah mendasarkan semua gerak langkah hidupnya menuju Allah dengan dua landasan ini, maka semua musuhnya tidak akan mampu menjerumuskannya kecuali hanya sekejap mata. Jika sudah demikian akan ia saksikan alangkah cepatnya bantuan dan pertolongan Allah dating menjemputnya serta mencurahkannya kembali dengan rahmat-Nya.